Jumaat, 26 April 2013

PRU-13 : GUNAKAN AKAL & SULUH AKAL DENGAN ILMU


JADINYA
MANA-MANA PARTI POLITIK YANG BERJAYA MENDAPAT MEJORITI DALAM PILIHANRAYA
MAKA PARTI POLITIK ITU SEBENARNYA ALAT PEMEGANG AMANAH RAKYAT SAHAJA
BUKAN DIKTATOR RAKYAT.

REALITINYA ?
PEMERINTAH MENGAKU DIALAH SEGALANYA ITULAH DIKTATOR
DAN BUKAN LAGI ALAT PEMEGANG AMANAH

BILA PEMERINTAH MENGAKUI HARTA KERAJAAN ADALAH HAK RAKYAT
MAKA DI SANA BARULAH SEMUA PARTI POLITIK SAMA ADIL BOLEH BERKEMPEN DALAM
TV + SURAT KABAR + MEDIA MASA

REALITINYA ?
PEMERINTAH BN MENGAKUI HARTA KERAJAAN ADALAH HARTA MAK BAPAK DIA PUNYA
KALAU HARTA KERAJAAN ITU BUKAN HARTA RAKYAT....STOP CUKAI !!

Ada hantu di bilik itu



Masa kita kecil, ada cikgu ketika ingin melarang kita pergi ke sesuatu tempat, contohnya seperti 'Bilik khas' yang menyimpan pelbagai peralatan bahaya - mereka kadang-kala menggunakan pendekatan hantu.
"Ada hantu di bilik itu. Jangan pergi sana. Nanti hantu tangkap." - itu adalah kata-kata biasa yang digunakan cikgu dulu.

Sebenarnya hantu tiada. Cikgu cuma menggunakan helah - menanamkan ketakutan pada pelajar supaya mereka tak berani ceroboh tempat di bilik khas.

Prinsipnya - "Manusia bimbang pada perkara yang mereka tidak tahu."

Hantu mereka tidak kenal - maka takut.
Betul ke tak, itu persoalan kedua. Kerana apa yang penting, jangan terserempak dengan hantu. Walaupun sememangnya di sana tiada hantu.

Apabila kita menjadi dewasa... kita sedar dengan teknik cikgu menakutkan kita.

Di medan politik negara juga, perkara yang sama dengan berlaku, terutamanya di kalangan orang Melayu dan orang Cina.

Mereka yang berkuasa sekarang bimbang orang Melayu dan orang Cina akan masuk ke satu bilik khas - ialah "Bilik Perubahan."

Pelbagai cerita dicanangkan untuk menanamkan rasa takut pada orang Melayu.

Siapa yang dijadikan hantu? DAP dan PAS.

Di depan orang Cina, DAP ialah kuda PAS. Satu undi adalah untuk PAS berkuasa seterusnya kehidupan mereka akan terjejas.

Alhamdulilah orang Cina dah sedar siapa hantu sebenar. Bukan PAS mahupun DAP, tapi orang berkuasa yang menjerit hantu.

Di kalangan orang Melayu juga, perkara yang sama berlaku. Mereka ditakutkan dengan hantu-hantu bernama ‘Kekuasaan Orang Cina’, ‘Kehilangan kuasa orang Melayu’ dan ‘PAS ialah kuda DAP’.

Alhamdulilah orang Melayu muda yang berinternet kini tahu siapa hantu sebenar - bukan DAP dan PAS tapi orang yang menjerit hantu tersebut. Tapi ada sebilangan lagi yang tak sedar dan masih terkena "teknik cikgu menakutkan kita."

Sharelah kepada kawan-kawan yang memerlukannya supaya mereka mengenali hantu sebenar.

Senyum

Menyebut-nyebut Pemberian Membatalkan Sedekah


Allah memuji kaum mukminin yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah dengan menjanjikan pahala yang besar sampai tujuh ratus lipat. Namun ini memilik syarat –sesudah ikhlash- agar mereka tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkit atau menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang yang diberi. Jika ini tidak diindahkan, maka pahala infak dan sedekah mereka akan terhapus.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 164)

Ayat ini mengabarkan bahwa sedekah akan terhapus disebabkan menyebut-nyebut dan menyakiti hati orang yang diberi, walaupun sebelumnya ia telah ikhlas mengeluarkannya.  Nasib sedekah semacam ini seperti nasib sedekah yang dikeluarkan karena riya' (mencari pujian) manusia dan tidak mengharapkan ridha Allah dan pahala akhirat. Tidak diragukan, bahwa amal semacam ini tertolak. Sebabnya, karena syarat ikhlas –dikerjakan karena Allah semata- tidak terpenuhi. Pada hakikatnya, amal tersebut dikerjakan karena manusia. Sehingga amal-amalnya batal dan usahanya tidak diberi balasan.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "Jumhur ulama berkata tentang ayat ini: sesungguhnya sedekah yang Allah tahu dari pelakunya bahwa dia menyebut-nyebut atau menyakiti orang yang diberi dengan sedekahnya itu, maka sedekah tersebut tidak akan diterima."

Larangan menyebut-nyebut pemberian bukan saja kepada orang yang diberi, tapi juga kepada orang lain. Dan seringnya menyebut-nyebut dan menceritakan pemberiannya akan menyakiti hati dan menyinggung perasaan orang yang diberi. Seperti ucapan: bukankah aku telah membantumu? Bukankah akut elah bersedekah kepadamu?Aku telah banyak berbuat baik kepadamu, aku telah memberimu ini dan itu, akau telah membantunya saat ia susah, dan semisalnya dalam rangka menangkat dirinya atau merendahkan orang yang diberi.

Ibnu Sirin pernah mendengar seseorang berkata kepada orang lain, "aku telah berbuat ini dan itu untukmu." Maka beliau berkata kepadanya: Diamlah! Tidak ada kebaikan pada amal baik apabila dihitung-hitung (disebut-sebut;-pent)."

Selain terhapus pahala sedekahnya, orang yang suka menyebut-nyebut sedekahnya terancam dengan kehinaan dan siksa yang berat di akhirat. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ : الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara, tidak dilihat, dan tidak disucikan oleh Allah; sedangkan bagi mereka siksa yang pedih: yakni musbil (memanjangkan kain sampai di bawah mata kaki karena sombong), al-mannan (orang yang mengungkit-ungkit/menyebut-nyebut pemberian) dan yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim dari hadits Abu Dzarr Radhiyallahu 'Anhu)

Selayaknya orang yang berharap perjumpaan dengan Rabb-nya agar meninggalkan sifat tercela ini, yakni mengungkit-ungkit sedekah. Karena perbuatan tersebut adalah dosa besar dan bisa menghapuskan amal sedekah. Lebih dari itu, perbuatan tersebut menjadi sebab seseorang tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dilihat dan disucikan oleh-Nya; serta menjadi sebab mendapat siksa yang pedih. Wal'yadhu Billah

Permudahlah dan Jangan Persulit!


Mudah dan mempermudah merupakan salah satu dari karaktristik Islam. Islam ingin mempermudah umatnya dalam menerima dan menjalankan kebenaran; dan tidak ingin mempersulit mereka. Sehingga orang menerima dan menjalankan Islam dengan lapang dada dan senang. Hal ini diperkuat oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Di dalam Al-Qur'an kita temukan, Allah menyatakan bahwa dien yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya bukan untuk menyulitkan mereka,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُم في الدِّين مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. Al-Hajj: 78)

Allah berfirman dalam menjelaskan kewajiban puasa yang berat dirasa sebagian orang,
يُريدُ الله بكُمُ اليُسْرَ وَلا يُريدُ بِكُمُ العُسْر
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah; 185)

Allah juga menyebutkan prinsip kemudahan dalam mewajibkan wudhu',
مَا يُريدُ الله لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلكن يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَةُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Maidah: 6)

Atas dasar kemudahan ini pula amal-amal sunnah berjalan. Maka tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam diberi dua pilihan kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama tidak mengandung dosa. Dan beliau senantiasa berdakwah kepada kemudahan, kelemahlembutan, dan tidak mempersulit.

Dari Anas bin Mali Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
"Permudahlah dan jangan persulit, berilah buatlah mereka gembira dan jangan buat mereka lari." (Muttafaq 'Alaih)

Ini adalah arahan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallamkepada umatnya agar mereka menempuh jalan kemudahan dalam amal dan mu'amalah mereka dengan yang lain. Karena kemudahan itulah yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185)

Misalnya: jika kita mendapatkan dua jalan menuju masjid; yang satu jalannya jelek dan penuh batu dan duri. Satu lagi jalannya bagus. Maka yang utama adalah kita menempuh jalan yang lebih mudah.

Salah satu contoh mudahnya Islam dan mempermudah kepada umat adalah riwayat dari Anas bin MalikRadhiyallaahu 'Anhu berkata, “Ketika kami duduk di masjid bersama Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tiba-tiba datang seorang badui lalu kencing di masjid. Para sahabat Nabi menghardiknya, “Berhenti, berhenti.” Lalu RasulullahShallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Jangan bentak dia, biarkan dia (jangan putus kencingnya).” Lalu para sahabat membiarkan orang badui tadi menyelesaikan kencingnya. Kemudian Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam memanggilnya dan berkata kepadanya,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
 “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh untuk buang air kecil atau buang kotoran. Masjid itu tempat untuk dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalat dan membaca Al-Qur`an.

Dan beliau Shallallaahu 'Alaihi Wasallam berkata kepada para sahabat,
إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ دَلْوًا مِنْ مَاءٍ أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah bukan untuk mempersulit. Siramlah dengan satu ember air pada tempat kencingnya.” Lalu orang Badui tadi berkata, “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engaku rahmati yang lain bersama kami.” Lalu Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Egkau telah menyempitkan yang luas.” (Muttafaq ‘Alaih)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberi teladan dalam berdakwah kepada orang yang jahil. Agar mempermudah dan tidak mempersulit dengan tetap menyampaikan kebenaran dan meluruskan kesalahan dengan cara yang lembut. Hal ini agar manusia tidak lari dari Islam dan meninggalkan kebenaran.

Kita lihat, orang badui tadi telah melakukan sesuatu yang memancing kemarahan para sahabat yang hadir di situ. Namun Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang mereka menghentikan kencingnya dan memarahinya, karena akan menimbulkan mafsadat dan dampak yang lebih buruk. Beliau perintahkan sahabatnya agar menyiram air kencing badui tersebut dengan air sehingga hilanglah najis. Dengan ini masalah najis air kencingnya sudah selesai. Kemudian NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam memanggilnya dan berkata lembut kepadanya tentang kedudukan masjid dan fungsinya sehingga Badui tadi memahaminya. Sehingga ia bisa menerima kebenaran dengan lapang dada dan tidak lari dari kebenaran. Sampai-sampai ia berucap, "Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallammenemuiku dan beliau tidak mencela, tidak memarahi, dan tidak memukul." (HR. Ahmad)

Memudahkan Dalam Menyampaikan Dakwah
Ada seorang dai berkata, "Saya memahami dakwah kepada Allah Ta'ala adalah adalah dengan menggunakan cara yang sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami umat. Bahkan jika memungkinkan tidak harus menggunakan kitab-kitab tafsir karangan para ulama. Dakwah seharusnya bermula dari dalamnya rasa cinta di hati kita kepada umat manusia dan dari besarnya keinginan kita untuk menuntun mereka menuju jannah Allah. Dakwah bukan hanya sekedar didasari keinginan untuk segera menegakkan hujjah agar mereka secepatnya masuk neraka jahannam."

Terkadang njelimetnya keterangan yang kita berikan agar terlihat ilmiah menjadikan umat sulit untuk mencerna kebenaran. Seolah untuk bisa mengamalkan Islam mereka harus menghafal surat apa dan ayat berapa, riwayat siapa dan dalam kitab apa? Sesungguhnya dakwah yang dijalankan Nabi dan para sahabatnya tidak demikian. Walaupun pengetahuan tadi dibutuhkan pada tingkatan yang lebih tinggi di kalangan thulabul 'ilmi. Maka permudahlah dalam dakwah agar umat lebih ringan menerima kebenaran. Wallahu Ta'ala A'lam.

Pernah Bermaksiat, Apakah Pernikahan Diberkahi?


Ada seseorang memiliki masa lalu yang kelam. Banyak dosa dan kemaksiatan yang telah ia lakukan, bahkan di antaranya dosa besar. Namun –Alhamdulillah- sekarang ia sudah taubat dan menikah. Hanya saja ia diliputi rasa takut, apakah pernikahannya akan diberkahi? Apakah ia akan dihukum di dunia ini akibat dosa-dosanya di antaranya dalam kehidupan berkeluarga sekarang?

Seseorang yang telah terjerumus ke dalam perbuatan dosa lalu sadar akan kesalahannya dan besarnya dosa yang telah diperbuat, ia tidak boleh berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah akan mengampuni dosanya dan tidak akan menghukumnya dengan dosa-dosanya terdahulu sesudah bertaubat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.  Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Zumar: 53)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
"Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa." (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Bahkan terkadang, kondisi seseorang pasca berbuat dosa yang diikuti taubat itu lebih baik daripada saat ia sebelum berbuat dosa, sebagaimana keadaan Bapak kita, Nabi Adam'Alaihis Salam.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan tentang perbedaan kondisi Nabi Adam 'Alaihis Salam sebelum beliau melakukan kesalahan dan sesudahnya. Dikatakan kepada beliau saat masih berada di surga:
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى
"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya." (QS. Thaahaa: 118-119)

Firman Allah yang lain,
ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى
"Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaahaa: 122)

Kemudian beliau (Ibnul Qayyim) mengomentari perbadaan keduanya, bahwa kondisi pertama berkaitan dengan makan, minum, dan menikmati hidup. Sedangkan kondisi yang kedua beliau menjadi hamba pilihan Allah dan mendapat hidayah. "Betapa jauhnya perbedaan keduanya," selesai keterangan beliau.

Maka janganlah ia terlalu khawatir, karena siapa yang bertaubat dari dosa dan kembali kepada Allah dengan menjalankan ketaatan serta mengisi sisa umur dengan kebaikan sicaya sisa umurnya akan diberkahi. Siapa yang telah bertaubat maka dia tidak akan dihukum dengan dosanya. Semua ini merupakan bagian dari luasnya karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan lebih dari itu, dengan kemurahan-Nya, Allah akan mengganti keburukan di masa lampau dengan kebaikan.

Allah Ta'ala berfirman setelah menyebutkan beberapa dosa besar, yakni: syirik, membunuh, dan berzina:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Furqan: 70)

Dari Abu Farwah rahimahullah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata: "(Ya Rasulullah!) bagaimana menurutmu, jika ada seseorang yang mengerjakan semua perbuatan dosa dan tidak meninggalkan satu perbuatan dosa pun serta tiada keinginan untuk berbuat dosa kecuali ia lakukan. Apakah ada taubat baginya  untuk semua itu?"

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya: "Apakah kamu sudah masuk Islam?"
Ia menjawab, "Adapun saya bersaksi tiada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah."

Beliau bersabda: "Berbuat baiklah dan tinggalkan perbuatan buruk, maka Allah akan menjadikan semua perbuatan buruk itu sebagai kebaikan bagimu." Ia berkata: "penghianatan dan kejahatanku?" Beliau menjawab: "ya." Ia terus menerus bertakbir hingga tidak terlihat lagi."  (HR. Thabrani)

Ringkasnya, dengan taubat yang telah dilakukan maka kemaksiatan-kemaksiatan yang dahulu pernah dikerjakannya tidak akan menghalangi keberkahan dalam keluarga yang dibina. Sungguh rahmat dan ampunan Allah sangat luas, maka janganlah berputus asa. Wallahu Ta'ala A'lam. 

Syarat Seorang Anak Wajib Menafkahi Orang Tuanya



Birrul walidain dan berbuat baik ke kedua orang tua adalah amal kebaikan yang sangat mulia di dalam Islam. Kedudukannya disandingkan dengan perintah tauhid (ibadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga) dalam beberapa ayat Al-Qur'an. Ini menjadi bukti kuat keagungan amal ini. 

Ditambah keterangan, bahwa bakti ini sebagai bentuk syukur atas jasa-jasa keduanya sejak dikandungan, bayi sehingga menjadi besar dan dewasa.

Allah Ta'ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. Luqman: 14)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (QS. Al-Isra': 23)

Dan di antara bentuk ihsan kepada keduanya adalah dengan memberikan nafkah atau menanggung nafkah keduanya saat mereka sangat-sagat membutuhkan orang yang menafkahi mereka. Khususnya, anak-anak mereka yang mampu dan berkelapangan. Sebabnya, anak adalah orang yang paling dekat kepada orang tuanya. Jika seorang anak yang berkecukupan menanggung nafkah kedua orang tuanya yang miskin, maka itu merupakan kewajiban yang sangat penting dan memiliki pahala yang besar.

Para ulama juga telah bersepakat akan kewajiban ini. Ibnul Mundzir berkata: "Para ulama sepakat, menafkahi kedua orang tua yang miskin yang tidak punya pekerjaan dan tidak punya harta merupakan kewajiban yang ada dalam harta anak, baik kedua orang tua itu muslim atau kafir, baik anak itu laki-laki atau perempuan."

Beliau mendasarkannya kepada firman Allah Ta'ala,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
"Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15) di antaranya melalui nafkah dan pemberian yang membuat mereka senang.
. . . di antara bentuk ihsan kepada keduanya adalah dengan memberikan nafkah atau menanggung nafkah keduanya saat mereka sangat-sagat membutuhkan orang yang menafkahi mereka . . .
Dan disyaratkan kewajiban menafkahi ini adalah kelapangan rizki si munfik (anak) dan kesulitan yang dialami orang tua dan butuhnya ia kepada nafkah tersebut. (Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 39/22)

Jika kondisi anak miskin maka ia tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada orang tuanya atau orang terdekatnya.

Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (9/258) menjelaskan tentang adanya tiga syarat dalam kewajiban nafkah ini:

Pertama, orang yang dinafkahi (orang tua) adalah orang miskin yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang mencukupkannya dari mengharapkan nafkah orang lain. Sebaliknya, jika orang tua punya banyak harta atau pekerjaan yang mencukupinya maka ia tidak wajib diberi nafkah. Karena nafkah ini sebagai bentuk bantuan, sedangkan orang yang banyak harta tidak butuh kepada bantuan.

Kedua, orang yang wajib menafkahi telah berkecukupan untuk menafkahi dirinya sendiri; baik dari hartanya atau pekerjaannya. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta yang lebih maka ia tak berkewajiban sama sekali. Hal ini berdasarkan hadits shahih riwayat Jabir, bahwa RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى عِيَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى ذِى قَرَابَتِهِ
"Apabila salah seorang kalian miskin maka hendaklah ia mulai dari disrinya sendiri. Jika telah lebih maka atas keluarganya. Jika masih ada lebihnya maka kepada kerabat dekatnya." (HR. Abu Dawud)

Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu meriwayatkan, ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata: Ya Rasulullah, aku punya beberapa dinar. Beliau bersabda: sedekahkanlah untuk dirimu. Ia berkata lagi; aku masih punya lagi. Beliau bersabda;  sedekahkanlah untuk anakmu. Ia berkata: aku masih punya lagi. Beliau bersabda: sedekahkanlah untuk istrimu. Ia berkata: aku masih punya lagi. Beliau bersabda: sedekahkanlah untuk pembantumu. Ia berkata: aku masih punya lagi. beliau bersabda: engkau lebih tau itu." (HR. Abu Dawud dan dihassankan oleh Al-Albani) sesungguhnya memberi nafkah ini adalah muwasah maka tidak wajib atas orang yang membutuhkan (miskin) sebagaimana zakat.

Ketiga, orang yang menafkahi adalah warisnya. Karena antara yang diwarisi dan mewarisi ada hubungan kekerabatan maka keberadaan waris lebih berhak terhadap harta orang yang diwarisi dari sekalian manusia maka selayaknya ia berkekhususan untuk menafkahinya daripada selainnya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala,
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
"Dan waris pun berkewajiban demikian." (QS. Al-Baqarah: 233)

Di sini perlu dicatat, bahwa jika misalnya orang tua mampu sehingga ia tidak diwajibkannya memberi nafkah untuk orang tua yang berkecukupan bukan berarti si anak tidak dianjurkan untuk memberikan sesuatu dari hartanya kepada orang tuanya. Ia tetap dianjurkan untuk memberi hadiah, oleh-oleh, atau jatah bulanan sebagai kesempurnaan ihsan (berbuat baik) kepada keduanya walau kedua tidak betul-betul membutuhkannya. Kecuali orang tuanya yang menolak karena kasihan kepada anaknya atau supaya disalurkan kepada yang lebih membutuhkan. Wallahu Ta'ala A'lam

Memberikan Zakat Kepada Orang Tua


Pemilik harta tidak boleh memberikan zakat hartanya kepada orang yang wajib ia nafkahi olehnya seperti anak-anaknya, istrinya, orang tuanya yang miskin, dan selain mereka. Mereka termasuk orang berkecukupan dengan harta yang dimiliki olehnya. Karena mereka berhak mendapat nafkah dari harta yang dimiliki orang tadi. Jika ia memberikan zakat hartanya kepada mereka maka dengan sendirinya jatah nafkah untuk mereka gugur. Secara tidak langsung ia memberikan zakat hartanya untuk dirinya sendiri.

Ibnu Qudamah berkata, "Ibnul Munzir berkata: para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua yang dalam satu waktu nafkah keduanya wajib ditunaikan olehnya. Juga karena zakatnya untuk mereka akan menghilangkan kewajiban nafkah dirinya dan menggugurkan darinya lalu manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Seolah-olah ia memberikan zakat itu kepada dirinya sendiri, karenanya ini tidak boleh. Sebagaimana juga kalau ia membayar hutang dengan zakat tadi."

Tetapi jika orang tadi adalah orang tidak/kurang mampu untuk mencukupkan nafkah kepada orang tuanya, maka sebagian ulama membolehkan untuk memberikan zakatnya kepada kedua orang tuanya atau anak-anaknya dari orang yang wajib ia nafkahi namun ia kurang mampu. Ini pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnul Qayyim dalam Hasyiyah al-Raudh berkata, "Syaikhul Islam berkata: dibolehkan memberikan zakat kepada kedua orang tua dan anak apabila mereka termasuk fuqara' sedangkan dirinya tidak mampu menafkahi mereka. Ini adalah salah satu pendapat dalam madhab Ahmad."

Sedangkan memberikan zakat kepada kerabat yang mereka tidak dibawah tanggungan nafkah darinya maka memberikan zakat kepada mereka dibolehkan. Bahkan mereka lebih berhak dibandingkan orang lain -dengan catatan: mereka termasuk mustahiq (orang yang berhak menerima zakat)-. Karena memberikan zakat kepada mereka bernilai dua, yakni sebagai sedekah dan menyambung tali kekerabatan (silaturahim), sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, "Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah. Sedangkan kepada orang yang memiliki hubungan kerabat dua nilai: sedekah dan menyambung tali kekerabatan (silaturahim)." (HR. Ahmad, al-Nasai, Ibnu Hibban, dan al-Tirmidzi yang menghassankannya)

Keutamaan Menafkahi Orang Tua yang Tidak Mampu
Berbakti dan memberikan kebaikan kepada kedua orang tua termasuk amal ibadah yang agung. Maka jika seorang anak yang berkecukupan menanggung nafkah kedua orang tuanya yang miskin itu termasuk kewajiban yang sangat penting dan memiliki pahala yang besar.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإِنَّ أَمْوَالَ أَوْلَادِكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا
"Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kamu makan adalah hasil dari kerjamu sendiri. Sesungguhnya harta anakmu termasuk dari usahamu, maka makanlah dengan nikmat." (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albani dan Syu'aib al-Arnauth)

Ibnul Mundzir berkata: "Para ulama sepakat, menafkahi kedua orang tua yang miskin yang tidak punya pekerjaan dan tidak punya harta merupakan kewajiban yang ada dalam harta anak, baik kedua irang tua itu muslim atau kafir, baik anak itu laki-laki atau perempuan."

Beliau mendasarkannya kepada firman Allah Ta'ala,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
"Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15) di antaranya melalui nafkah dan pemberian yang membuat mereka senang.

Jika kedua orang tua adalah orang kaya yang berkecukupan, maka seorang anak tidak wajib menafkahi kedua orang tuanya tersebut. Kecuali ia memberikan jatah nafkahnya kepada keduanya sebagai kesempurnaan ihsan (berbuat baik) kepada keduanya walau keduanya tidak betul-betul membutuhkannya. Wallahu Ta'ala A'lam.

Kefakiran Mendekatkan Kepada Kekufuran


Kefakiran terkadang mendorong seseorang melakukan tindakan-tindakan yang tak dibenarkan agama. Kefakiran juga memaksanya untuk melakukan tindakan haram; seperti mencuri, mencopet, merampok, menipu, dan melacur dan sebagainya. Karenanya, tidak bisa disalahkan jika ada ungkapan bahwa kefakiran atau kemiskinan mendekatkan kepada kekufuran.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا وَ كَادَ الْحَسَدُ أَنْ يَسْبِقَ الْقَدَرَ
"Hampir-hampir saja kefakiran akan menjadi kekufuran dan hampir saja hasad mendahului takdir." (Didhaifkan oleh Syaikh Al-Albani dan lainnya)

Al-Munawi dalam Faidhul Qadir mengutip perkataan Imam al-Ghazali yang menerangkan bahwa kefakiran mendekatkan untuk terjerumus ke dalam kekufuran, "Karena kefakiran (kemiskinan) menyebabkan orang untuk hasud kepada orang kaya. Sedangkan hasud akan memakan kebaikan. Juga karena kemiskinan mendorongnya untuk tunduk kepada mereka dengan sesuatu yang merusak kehormatannya dan membuat cacat agamanya, dan membuatnya tidak ridha kepada qadha' (ketetapan Allah) dan membenci rizki. Yang demikian itu jika tidak menjadikannya kufur maka itu mendorongnya ke sana. Karenanya Al-Musthafa Shallallahu 'Alaihi Wasallam berlindung dari kefakiran."

Ini dikuatkan perkataan Sufyan al-Tsauri, "Aku mengumpulkan 40 ribu dinar di sisiku sehingga aku mati meninggalkannya lebih aku sukai daripada fakir satu hari dan kehinaan diri dalam meminta kepada manusia."

Dalam perkataan beliau yang lain, "Demi Allah aku tidak tahu apa yang terjadi padaku kalau aku diuji dengan satu ujian berupa kefakiran atau sakit, bisa jadi aku kufur sedangkan aku tidak sadar."

Karenanya dikatakan bahwa kefakiran mendekatkan kepada kakufuran; karena seseorang yang mengalami kesulitan dan kehinaan bisa menyebabkan dirinya berpaling dari Allah dan mengingkati kekuasaan-Nya.

Oleh sebab itu, terdapat beberapa hadits yang menggabungkan keduanya dalam isti'adzah (doa memohon perlindungan). Seperti doa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ
"Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kefakiran dan kekufuran serta adzab kubur." (HR. Abu Dawud, Al-Nasai, dan Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam dan Syu'aib al-Arnauth, beliau berkata: sanadnya kuat sesuai syarat Muslim)

Al-Munawi dalam Faudh al-Qadir berkata: "Digabungkannya kefakiran dengan kekufuran karena kefakiran terkadang menyeret kepada kekufuran."

Ini bukan berarti bahwa fakir (miskin) adalah buruk dan tercela. Karena sesungguhnya kaya-miskin merupakan ketentuan Allah. Dia melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Begitu juga sebaliknya, menyempitkan rizki dan membatasinya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia sengaja membuat perbedaan itu dengan hikmah yang Dia ketahui.

Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am: 165)

Dalam firman-Nya yang lain,
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
"Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.” (QS. Al-zukhruf: 32)

Ibnu Hazm al-Andulisy dalam kitabnya, al-Ushul wa al-Furu’ (1/108) menyinggung tentang kaya dan miskin, mana yang lebih utama?.

Menurut beliau, bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun juga sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya.

Kemudian beliau menjelaskan tentang hadits tentang orang-orang fakir 40 tahun lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya, bahwa secara umum para fuqara’ muhajirin lebih dahulu masuk surga daripada orang kaya mereka. Karena orang-orang miskin muhajirin lebih banyak amal shalihnya dibandingkan dengan orang kaya mereka.

Jadi, jika miskin tapi seseorang bisa bersabar dan ridha dengan ketetapan Allah dan tidak sampai lalai dari ketaatan kepada-Nya, maka miskin yang seperti ini mulia dan tidak tercela. Wallahu A'lam.

Apakah Dibenarkan Berdoa Supaya Dijadikan Orang Miskin? : Sambungan dari siri - "Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?"


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan kepada kita nikmat-nikmat-Nya. Dan tak satupun nikmat kecuali itu berasal dari-Nya.

Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasululillah yang pernah mengatakan, “Kalau aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku tidak suka masih ada di rumahku lebih dari tiga hari, kecuali yang aku siapkan untuk membayar hutang”, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Dengan menjadi kaya kita bisa berperan lebih untuk dien ini. Dengannya kita bisa mendapat limpahan pahala yang tak bisa diraih oleh orang-orang fakir dan miskin.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengadukan kemiskinannya. Mereka berkata, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa kedudukan yang tinggi dan kenikmatan abadi. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa melaksanakan haji, umrah, berjihad, dan bershadaqah.”

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan jauh meninggalkan orang yang datang sesudah kalian. Tak seorangpun yang lebih mulia dari kalian kecuali yang ia melakukan seperti yang kalian lakukan?”

Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir  tiga pulah tiga kali setiap selesai shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Kaum Fuqara’ Muhajirin datang kembali kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata, ‘Saudara-saudara kami yang kaya mendengar apa yang telah kami kerjakan, lalu mereka juga melakukan amalan serupa?’.” Maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam membaca firman Allah,
ذَلِكَ فَضْلُ الله يُؤتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah: 54)

Namun di sisi lain, banyak ayat yang menyebutkan tentang bahaya dunia. Banyak orang yang tergelincir karenanya. Oleh sebab itu Allah sering sekali mengingatkan agar jangan sampai terpedaya dengannya.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Imam al-Bukhari dalam Shahihnya membuat bab “Al-Muktsiruun Hum al-Muqilluun” (Orang-orang yang banyak harta adalah mereka yang akan miskin pahala pada hari kiamat). Lalu beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud: 15-16)

Lalu disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu,
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمْ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
Sesungguhnya orang yang banyak harta adalah yang miskin pahala pada hari kiamat kecuali orang yang Allah berikan kebaikan (harta) lalu ia membagikannya ke kanan, kiri, ke arah depan dan belakangnya, serta berbuat yang baik dengannya.” (HR. Bukhari dan Musim) hanya saja orang seperti ini jumlahnya sedikit.
“Sesungguhnya orang yang banyak harta adalah yang miskin pahala pada hari kiamat kecuali orang yang Allah berikan kebaikan (harta) lalu ia membagikannya ke kanan, kiri, ke arah depan dan belakangnya, serta berbuat yang baik dengannya.” (al-Hadits)
Dan dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan tentang keutamaan menjadi orang miskin yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa mereka akan masuk surga empat puluh tahun lebih dahulu sebelum orang-orang kaya mereka. (HR. al-Tirmidzi dari Anas bin Malik)

Sehingga disebutkan dalam riwayat yang sama bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa agar dijadikan miskin dan dikumpulkan bersama orang-orang miskin,
اَللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku pada hari kiamat bersama-sama orang-orang miskin.” (HR. al-Tirmidzi dari Anas no. 2352 dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri no. 4126)

Namun, hadits tersebut banyak dilemahkan oleh para ulama. Di antaranya Imam al-Tirmidzi, Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir,  dan al-Hafidz Ibnul Hajar.

Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (6/56) mengatakan, “Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abi Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah wafatkan aku sebagai orang miskin . . .” itu adalah hadits dhaif. Tidak sah ditinjau dari sisi isnadnya, karena di dalamnya terdapat Yazid bin Sinan Abu Farwah al-Rahawi dan dia adalah dhaif sekali, wallahu a’lam.”
Aku (Ibnu Katsir) katakan, “Dalam isnadnya ada kelemahan dan dalam matannya ada keanehan, wallahu a’lam.” (Al-Bidayah: 6/57)

Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullaah dalam al-Talkhis (3/109) setelah menyebutkan hadits tersebut mengomentari bahwa isnad yang diriwayatkan al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id adalah lemah.

Ibnu Taimiyah rahimahullaah pernah ditanya mengenai hadits ini, lalu beliau menjelaskan bahwa hadits tersebut memang diriwayatkan, tapi dia dhaif tidak kuat. Maknanya: hidupkan aku dengan khusyu dan tawadhu, tapi lafadznya juga tidak kuat. (Lihat Majmu’ Fatawa: 18/357)

Dalam jawaban lain, “Hadits ini telah diriwayatkan al-Tirmidzi. Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi telah menyebutkannya dalam al-Maudhu’aat . . .” (Majmu’ Fatawa: 18/326)

Masih ada beberapa ulama lain yang mendhaifkannya seperti Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (6/196), al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (4/427 , Ibnu Rajab al-Hambali, al-Bushiri dalam Misbah al-Zujajah (4/218), Ibnu Mulqin dalam al-Badrul Munir (7/367), dan Imam al-Sakhawi dalam Al-Maqashid al-Hasanah, hal. 154.
Dan kalaupun dikatakan shahih, maka maksud dengan miskin dalam hadits tersebut adalah tawadhu’ dan rendah hati, bukan sedikit harta. Karena terkadang ada orang sedikit harta tapi dia sombong dan angkuh, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits shahih,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
Ada tiga golongan yang pada hari kiamat Allah tidak akan mengajak bicara, tidak menyucikan dan tidak mau melihat mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu orang tua yang berbuat zina, raja yang pendusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR.Muslim dan Nasai)

Orang yang berdoa dengan doa di atas seolah-olah meminta kepada Allah agar tidak dijadikan sebagai bagian dari orang-orang kejam lagi sombong dan tidak dihimpun bersama mereka pada hari kiamat. Dan kata miskin berasal darimaskanah yang diambil dari kata sukun. Dikatakan, “Tasakkana Al-Rajul Idha Laana” (seseorang menjadisakanah apabila dia lemah lembut, tawadhu’, khusyu, dan rendah hati. (Lihat: Mukhtalaf al-Hadits, hal. 167)

Namun, kalau kita komparasikan dengan bagian akhir dari hadits tersebut maka makna-makna yang memalingkan dari miskin dan fakir akan tertolak. Yakni pertanyaan Aisyahradhiyallahu 'anha kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallamtentang sebab beliau berdoa seperti itu. Beliau menjawab,
إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا يَا عَائِشَةُ لَا تَرُدِّي الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ أَحِبِّي الْمَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya mereka akan masuk surga empat puluh tahun lebih dahulu sebelum orang-orang kaya mereka. Wahai Aisyah, jangan engkau tolak (permintaan) orang miskin walau hanya dengan setengah biji kurma. Wahai Aisyah, cintailah orang-orang msikin dan dekatilah (muliakan) mereka, Maka dengan itu Allah akan mendekatkanmu kepada-Nya.” (HR. al-Tirmidzi dari Anas bin Malik)

Dari sini, sangat jelas bahwa maksud miskin dalam doa di atas adalah miskin harta, berdasarkan ujung dari hadits tersebut. Hanya saja isnadnya dhaif, sehingga tidak sah untuk dijadikan landasan argument, baik dengan dibawa kepada makna pertama ataupun yang kedua. (Lihat pernyataan Ibnul Hajar dalam Ikhtiyar al-Ula fi Syarh Hadits Ikhtisham al-Mala’ al-A’la, hal. 20)

Kesimpulan
Bahwa tidak dibenarkan berdoa kepada Allah supaya dijadikan sebagai orang miskin hingga meninggal dunia. Karena akibat kemiskinan banyak amal utama dalam Islam yang tidak bisa dikerjakan, seperti haji, umrah, shadaqah, membangun masjid, membebaskan budak, berjihad dengan harta, dan semisalnya. Banyak juga orang yang menggagalkan studinya hanya karena tak ada biaya.

Disebutkan dalam Shahihain, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjenguk sa’ad bin Abi Waqqash, maka dia mengadu kepada beliau bahwa dia punya banyak harta dan hanya memiliki seorang ahli waris, yaitu putrinya semata wayang. Lalu dia ingin bershadaqah dengan 2/3 hartanya, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak membolehkannya. Lalu ia ingin menguranginya menjadi 1/2 hartanya, namun beliau tetap tidak mengizinkannya. Dan terakhir ia ingin bershadaqah dengan 1/3 hartanya, lalu Nabishallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Dan sepertiga itu sudah banyak.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda, “Sesungguhnya engkau meninggalkan keturunanmu dalam kondisi kaya itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam kondisi miskin, menengadahkan tangan kepada manusia."

Hanya saja kalau kaya jangan sampai tertipu dengan hartanya sehingga berbangga diri dan sombong, lupa akhirat dan pelit berinfak. Maka kalau begitu, kaya adalah buruk baginya. Namun, kalau dengan kaya ia meningkat ibadahnya, banyak amal kebaikannya, suka membantu sesama, gemar bershadaqah dan berinfak, maka kaya akan menjadikannya semakin mulia. Namun, orang seperti ini tidak banyak. Hanya mereka yang telah menjihadi(menundukkan) nafsunya yang akan bisa melakukannya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang semua nikmat berasal dari-Nya. Dialah yang melapangkan rizki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Shalawat dan salam kepada semoga terlimpah kepada suri teladan kita, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Setiap Rasul yang Allah utus ke suatu kaum untuk memberikan peringatan atas penyimpangan mereka, selalu mendapatkan penentangan. Dan seringnya, penentangan itu muncul dari kalangan elit yang memiliki kedudukan dan harta. 

Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya".” (QS. Saba’: 34)

Harta benda dan kekayaan yang mereka miliki menjadikan mereka sombong. Sehingga para rasul mereka hinakan dan kebenaran mereka dustakan. Bahkan dengan kekayaan itu, mereka menjadikan sebagai standar kebenaran. Sehingga mereka menyangka bahwa tak mungkin Dzat yang telah memberikan semua kekayaan ini di dunia akan menyiksa mereka di akhriat.
وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diadzab”.” (QS. Saba’: 35)

Syaikh Abdurrahman al-Sa’di berkata tentang ucapan mereka, “dan kami sekali-kali tidak akan diadzab”: “Jika kami dibangkitkan, maka Dzat yang telah memberikan harta dan anak kepada kami di dunia, pasti akan memberikan yang lebih banyak dari itu kepada kami di akhirat dan Dia tidak akan menyiksa kami.”

Kemudian Allah menjawab celotehan mereka itu, bahwa lapang dan sempitnya rizki, kaya dan miskin bukan menjadi tanda klaim mereka. Karena rizki itu di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, jika Dia berkehendak maka akan melapangkannya untuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan jika berkehendak lain, maka akan membatasinya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".”(QS. Saba’: 36)

Sesungguhnya banyaknya harta dan keturunan (di antaranya: para pendukung) bukan ukuran kebenaran. Harta dan kekayaan bukan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menyebabkan masuk surga. Sesungguhnya yang bisa menjadikan mereka dekat dengan Allah, dimasukkan ke surga dan diselamatkan dari nereka, adalah iman dan amal shalih.
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba’: 37)

Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?
Sesungguhnya kaya-miskin merupakan ketentuan Allah. Dia melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Begitu juga sebaliknya, menyempitkan rizki dan membatasinya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia sengaja membuat perbedaan itu dengan hikmah yang Dia ketahui.

Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am: 165)

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.” (QS. Al-zukhruf: 32)

Ibnu Hazm al-Andulisy dalam kitabnya, al-Ushul wa al-Furu’(1/108) menyinggung tentang kaya dan miskin, mana yang lebih utama?.
Menurut beliau, bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun juga sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya.
Kemudian beliau menjelaskan tentang hadits tentang orang-orang fakir 40 tahun lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya, bahwa secara umum para fuqara’ muhajirin lebih dahulu masuk surga daripada orang kaya mereka. Karena orang-orang miskin muhajirin lebih banyak amal shalihnya dibandingkan dengan orang kaya mereka.
Memang benar, dengan menjadi kaya kita bisa berperan lebih untuk dien ini dan bisa menjalankan syariatnya dengan lebih lengkap dan sempurna. Dengannya, kita bisa mendapat limpahan pahala yang tak bisa diraih oleh orang-orang fakir dan miskin.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengadukan kemiskinannya. Mereka berkata, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa kedudukan yang tinggi dan kenikmatan abadi. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa melaksanakan haji, umrah, berjihad, dan bershadaqah.”
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan jauh meninggalkan orang yang datang sesudah kalian. Tak seorangpun yang lebih mulia dari kalian kecuali ia melakukan seperti yang kalian lakukan?”
Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir  tiga pulah tiga kali setiap selesai shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Kaum Fuqara’ Muhajirin datang kembali kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata, ‘Saudara-saudara kami yang kaya mendengar apa yang telah kami kerjakan, lalu mereka juga melakukan amalan serupa?’.” Maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam membaca firman Allah,
ذَلِكَ فَضْلُ الله يُؤتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun di sisi lain, banyak ayat yang menyebutkan tentang bahaya dunia. Banyak orang yang tergelincir karenanya. Oleh sebab itu Allah sering sekali mengingatkan agar jangan sampai terpedaya dengannya.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Imam al-Bukhari dalam Shahihnya membuat bab “Al-Muktsiruun Hum al-Muqilluun” (Orang-orang yang banyak harta adalah mereka yang akan miskin pahala pada hari kiamat). Lalu beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud: 15-16)

Lalu disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu,
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمْ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
Sesungguhnya orang yang banyak harta adalah yang miskin pahala pada hari kiamat kecuali orang yang Allah berikan kebaikan (harta) lalu ia membagikannya ke kanan, kiri, ke arah depan dan belakangnya, serta berbuat yang baik dengannya.” (HR. Bukhari dan Musim) hanya saja orang seperti ini jumlahnya sedikit.

Menurut Abi Dzar, maksud banyak harta dan miskin pahala akhirat berlaku bagi orang yang memiliki banyak harta namun tidak menjalankan pengecualian yang disebutkan sesudahnya, yaitu infaq. (Lihat: Fathul Baari: 11/299)

Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya. (Disarikan dari perkataan al-Qadhi ‘Iyadh yang dinukil dalam Fathul Baari: 11/305)
Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya.
Dan berinfak ini lebih utama dikeluarkan dalam kondisi sehat, memiliki banyak rencana, berharap hidup lebih lama, berangan-angan jadi hartawan, dan takut miskin. Bahkan berinfak dalam keadaan ini lebih utama daripada saat mendekati ajal.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang shadaqah yang paling besar pahalanya. Lalu beliau menjawab,
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى
Yaitu engkau bershadaqah (infak) pada saat sehat, kikir, takut miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi hartawan yang kaya raya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin. Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung. Sebaliknya, siapa yang bakhil sehingga enggan berinfak, tidak mengeluarkan zakat, tidak menunaikan wasiat, menutup mata dari orang susah dan peminta-minta, maka ia akan sengsara dan miskin pahala saat harta dan kekayaan tidak lagi berguna.
kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin. Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung.


Penutup
Sebenarnya dengan kaya kita bisa meraih pahala yang lebih banyak. Bahkan dengan kekayaan, kita bisa menyokong dan menegakkan perjuangan. Contoh nyatanya, Ustman bin Affan mendapat jaminan surga dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melalui harta yang dimilikinya. Yaitu saat dia mewaqafkan sumur Ruumah dan menginfakkan 300 ekor unta dan seribu Dinar pada perang Khandak. (HR. Bukhari, Bab: Manqib Utsman bin Affan)

Masih riwayat lain, bahwa orang yang meninfakkan dengan sepasang hartanya dipersilahkan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Setiap penjaga pintu surga memanggil dan memprsilahkan ia masuk dari pintu tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim) Maka berusahalah untuk mencari karunia Allah dari harta benda dnegan sungguh-sungguh agar bisa beramal lebih banyak dalam Islam.

Hanya saja kalau kaya jangan sampai tertipu dengan hartanya sehingga berbangga diri dan sombong, lupa akhirat dan pelit berinfak. Maka kalau begitu, kaya adalah buruk baginya. Dan kebanyakan orang kaya seperti ini. “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’: 13)

‘Ala Kulli hal, kaya atau miskin bukan ukuran baik dan mulia. Kemuliaan ditentukan oleh iman dan takwa, yaitu dengan bersyukur saat menjadi kaya dan bersabar saat diuji miskin. Wallahu Ta’ala a’lam.