Seperti yang telah banyak dibahas di dalam kitab-kitab ulama'-ulama' muktabar bahawa bentuk maslahah yang dijadikan sebagai dasar dalam melakar Maqashid Syari’ah terdiri dari dua bentuk, yaitu:
(a). Mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan untuk manusia, yang disebut dengan ”jalb al-manafi’/ al-mashalih”.
(b). Menghindarkan manusia dari kerosakan dan keburukan, yang disebut dengan ”daf’u al-mafasid”. Untuk menentukan baik-buruknya (manfaat atau mafasadah) suatu perbuatan dan guna mewujudkan tujuan utama pembentukan dan pembinaan hukum, maka tolak ukurnya adalah apa yang menjadi keperluan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan keperluan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan sehingga secara berurutan, ulama pengagas maqashid membuat peringkat keperluan tersebut menjadi tiga tingkatan iaitu: dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tertier) :
A. MAQASHID DHURURIYAT (primer): adalah sesuatu yang mutlak adanya demi terwujudnya (menjaga) kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerosakkan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, solat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya (al-Syathibi: 2/8). Yang termasuk maqashid dharuriyat ini ada lima yaitu: menjaga agama (hifzh al-din), menjaga jiwa (hifzh al-nafs), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal) dan menjaga aqal (hifzh al-’aql) (Al-Syatibi: 2/10).
Untuk melestarikan ke lima keperluan dharuriyat tersebut dapat dilakukan dengan dua cara iaitu (Al-Syatibi: 2/8):
1) dari segi keberadaannya (min nahiyati al-wujud) yaitu dilakukan dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya.
2) dari segi ketidak-adaannya (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dilakukan dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketidak-adaannya.
Tujuan yang bersifat dharuriyat merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai dan segala tuntutan (perintah) yang berkaitan dengan hal tersebut bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan keperluan dharuriyat menjadi wajib. Demikian sebaliknya, larangan yang berkaitan dengan dengan dharuriyat juga tegas dan mutlak dan hukum yang ditimbulkan menjadi haram (haram dzatiy). (Amir Syarifuddin: 213).
Contoh:
- Menjaga agama dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menegakkan syiar-syiar keagamaan (solat, puasa zakat dan sebagainya), melakukan dakwah islamiyah; berjihad di jalan Allah; dan menjaga agama dari segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu menjaga dari sedaya-upaya penyimpangan ajaran agama dan memberikan sanksi hukuman bagi orang yang murtad; (Al-Yubi: 195)
- Menjaga jiwa dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan memberi nutrisi berupa makanan dan minuman; dan menjaga jiwa dari segi segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) menjalankan sanksi qisas dan diyat terhadap hukuman pembunuhan; (Al-Yubi: 211)
- Menjaga akal dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menuntut ilmu dan melatih berikir positif; dan menjaga akal dari segi segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan memberikan had al-syurb (sanksi hukuman) bagi yang mengkonsumsi meminuman keras dan narkoba; (Al-Yubi: 235)
- Menjaga keturunan/harga diri dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menganjurkan untuk melakukan pernikahan; dan menjaga keturunan / harga diri dari segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan memberikan sanksi had al-zina (sanksi perzinaan) bagi yang melakukan hubungan intim di luar pernikahan; (Al-Yubi: 245)
- Menjaga harta dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menganjurkan untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal; dan menjaga harta dari segi segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan melarang untuk melakukan kencurian dan penipuan terhadap harta orang lain dan memberi sanksi had al-sariqah (sanksi pencurian dan penipuan) bagi yang melakukannya; (Al-Yubi: 283)
B. MAQASHID HAJIYAT (sekunder) : adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam leluasa melaksanakannya dan terhindar dari kesulitan. Kalau hal tidak ada, maka ia tidak akan meniadakan, merosak kehidupan atau menimbulkan kematian hanya saja akan mengakibatkan kesulitan dan kesempitan (al-masyaqqah wa al-jarah). (Al-Syathibi:2/10).
Tujuan hajiyat jika ditinjau dari segi petapan hukum dapat dikelompokkan pada tiga bagian:
1) Hal yang disuruh syara’ melakukan untuk dapat melaksanakan suatu kewajian secara baik yang disebut sebagai ”muqaddimah wajib”. Contohnya: membangun pusat pendidikan seperti sekolah sesuatu yang disuruh oleh agama sebagai tempat menuntut ilmu untuk meningkatkan kualiti akal. Namun tidak bererti bahawa jika sekolah tidak ada maka tidak dapat menuntut ilmu karena masih dapat dilakukan di luar sekolah, sehingga keperluan akan sekolah masuk sebagai hal yang hajiyat.
2) Hal yang dilarang syara’ untuk dilakukan guna menghindarkan pelanggaran pada salah satu unsur dharuryat. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dharuriyat, namun segala hal yang menjurus pada terjadinya perzinaan juga dilarang seperti berdua-duaan dengan lawan jenis, sekalipun tidak secara langsung merusak keturunan akan tetapi dilarang guna menutup pintu pelanggaran terhadap larangan yang bersifat dharuriyat .
3) Segala bentuk kemudahan dan keringanan (rukhshah) yang diberikan karana adanya kesukaran dan kesulitan sebagai pengecualian dari hukum azimah, sama halnya masalah ibadah (kebolehan meng-qashar dan menjama’ shalat; bolehnya berbuka puasa pada siang hari ramadhan bagi yang musafir atau sakit); masalah masalah muamalat (ijarah (sewa menyewa, jual salam; transaksi mudharabah dan sebagainya).
C. MAQASHID TAHSINIYAT : adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan, namun jika tidak dipenuhi, kehidupan tidak akan rosak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan, hanya boleh dinilai kurang baik dan tidak layak menurut ukuran tata-krama dan kesopanan (Al-Syathibi: 2/11).
Tujuan syariah pada tingkatan tahsiniyat menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan dan juga tidak menimbulkan hukum haram pada perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, akan tetapi hanya menimbulkan ”hukum sunat” bagi yang melakukan dan ”hukum makruh” bagi yang mengabaikan.
Maqashid Tahsiniyat berlaku pada bidang ibadah (membersih diri dan berpakaian rapi pada waktu ingin mengerjakan salat dan mahu ke masjid); pada bidang muamalat (jual beli syuf’ah) pada bidang adat kebiasaan (makan dan minum dengan tangan kanan) dan sebagainya.
Untuk memperjelas tingkatan Maqashid Syari’ah berdasarkan klasifikasi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, maka keterkaitan satu sama lain sebagaimana berikut ini:
1. Memelihara Agama
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat “dharuriyat”, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti: melaksanakan solat fardhu (lima waktu). Apabila kewajiban solat diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam.
b. Memelihara agama dalam peringkat “hajiyat”, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti: melakukan solat jama’ dan qasar ketika musafir. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam eksistensi agama, namun dapat mempersulit pelaksanaannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat “tahsiniyat”, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan, seperti: menutup aurat baik dilakukan pada waktu solat ataupun di luar solat dan juga membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji. Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dharuriyat dan hajiyat.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibezakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa pada peringkat “dhururiyat” adalah memenuhi keperluan utama berupa makanan, minuman untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Kalau keperluan utama tersebut diabaikan akan mengancam eksistensi jiwa manusia.
b. Memelihara jiwa pada peringkat “hajiyat” adalah dianjurkan untuk berusaha guna memperoleh makanan yang halal dan lazat. Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa pada peringkat “tahsiniyat” seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
3. Memelihara Akal
Memelihara akal, dilihat dari tingkat kepentingannya dapat dibahagi menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal pada peringkat “dharuriyat”, seperti diharamkan mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya. Apabila ketentuan ini diabaikan akan mengancam eksistensi akal manusia.
b. Memelihara akal pada peringkat “hajiyat”, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekirannya ketentuan itu diabaikan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya berimbas pada kesulitan dalam hidupnya.
c. Memelihar akal pada peringkat “tahsiniyat”, menghindarkan diri dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat sesuatu yang tidak berfaedah. Kegiatan itu semua tidak secara langsung mengancam eksistensi akal manusia.
4. Memelihara Keturunan
Memelihara “keturunan/harga diri, ditinjau dari peringkat kebutuhannya dapat dibahagi menjadi tiga:
a. Memelihara keturunan pada peringkat “dharuriyat”, seperti anjuran untuk melakukan pernikahan dan larangan perzinaan. Apabila hal ini diabaikan dapat mengancam eksistensi keturunan dan harga diri manusia.
b. Memelihara keturunan pada peringkat “hajiyat”, seperti ditetapkan Talak sebagai penyelesaian ikatan suami isteri. Apabila Talak tidak boleh dilakukan maka akan mempersulit rumahtangga yang tidak boleh dipertahankan lagi.
c. Memelihara keturunan pada peringkat “tahsiniyat”, seperti disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara siremoni pernikahan. apabila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi keturunan atau harga diri manusia dan tidak pula mempersulit kehidupannya.
5. Memelihara Harta
Memelihara harta, ditinjau dari peringkat kepentingannya dapat dibahagi menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta pada peringkat “dharuriyat”, seperti disyariatkan oleh agama untuk mendapatkan kepemilikan melalui transaksi jual beli dan dilarang mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar seperti mencuri, merampok dan sebagainya. Apabila aturan tersebut dilanggar akan mengancam eksistensi harta.
b. Memelihara harta pada peringkat “hajiyat”, seperti dibolehkan transaksi “jual-beli “salam”, istishna’ (jual beli order) dan sebagainya. Apabila ketentuan tersebut diabaikan tidak akan mengancam eksistensi harta, namun akan menimbulkan kesulitan bagi pemiliknya untuk melakukan pengembangannya.
c. Memelihara harta pada peringkat “tahsiniyat”, seperti perintah menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal tersebut hanya berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam kepemilikan harta apabila diabaikan. (Al-Ayubi: 192-303)
- wallahu'alam...barakallahu fikum...
Tiada ulasan:
Catat Ulasan